DIA adalah satu dari empat warga negara Indonesia yang namanya tercatat dalam Ensiklopedi Chinese Overseas bidang Kesenian dan Kebudayaan terbitan Pemerintah China. Sebagai penyadur cerita silat Tiongkok, dia disebut-sebut sebagai yang terbesar setelah mendiang Oey Kim Tiang (OKT). Kini, lelaki kelahiran Semarang, 2 Juli 1949 itu menjadi satu-satunya penyadur generasi lama yang tersisa. Dialah Tjan Ing Djioe, yang lebih dikenal pembaca dengan nama pena Tjan ID.
Tjan, sapaan Tjan Ing Djioe, penyadur yang sangat produktif. Karyanya lebih dari 100 judul, dengan jumlah jilid mencapai ribuan. Buku-buku yang ia terjemahkan karya penulis populer dari Negeri Tirai Bambu. Namun Tjan paling banyak menyadur tulisan Khu Lung (Gu Lung).
Kini, di usianya yang merambat senja, Tjan masih terus berkarya mengalihbahasakan teks-teks cerita berbahasa China ke dalam Bahasa Indonesia. Saban hari dia bisa menghabiskan 12 jam waktunya di ruang kerja. Apa nggak lelah Pak Tjan? ”Ah nggak, kan sudah biasa,” jawab warga Tambak Mas Timur No 20-21 Tanah Mas Semarang ini, sambil menggelengkan kepala.
Ya, bersikutat dengan teks, kamus, dan komputer, sudah menjadi rutinitas harian Tjan. Aktivitas itu dia lakukan selepas bangun tidur, sekitar pukul 03.00 hingga larut malam.
Tjan beristirahat hanya untuk mandi, makan, dan membantu usaha katering istrinya. Kondisi ini belum seberapa dibanding ritme kerjanya di masa muda. Saat itu, Tjan biasa bekerja nonstop selama 19 jam.
Apa yang membuat dia bekerja sedemikian keras? Jawaban dari pertanyaan ini berkelindan dalam kisah hidup Tjan. Tjan lahir dari keluarga berkecukupan. Ayahnya, Tjan Han Siong seorang pengusaha rotan, sedangkan ibunya Lie Lie Sian, berprofesi sebagai guru. Tjan kecil beroleh pendidikan dasar di sekolah berbahasa China, yakni SD Chung Hoa Kung Sie dan SD Yu Te. Selepas itu dia melanjutkan ke sekolah berpengantar Bahasa Indonesia: SMP dan SMA Theresiana. Penguasaan terhadap dua bahasa inilah yang melempangkan jalan Tjan ke dunia penerjemahan.
Suatu ketika, saat kuliah di Jurusan Publisistik Undip, dia mendapat tugas membuat karangan. Karena tidak terlampau cakap menulis, Tjan memilih membuat karya terjemahan. Kebetulan ia sejak kecil gemar membaca cerita silat Tiongkok. Maka ia pun menyadur bagian awal karya Bai Hong Tujuh Pusaka Rimba Persilatan. Hasil ketikan asli karya itu diserahkan kepada dosen, sedangkan kopian karbonnya— tanpa sepengetahuan Tjan— diserahkan oleh sang ayah kepada pemilik toko buku Sutawijaya di Jalan Mataram, Semarang.
”Oleh The Tjie To, sang pemilik toko, karya terjemahan saya ditawarkan kepada sebuah penerbit di Jakarta. Entah kenapa, penerbit itu tertarik dengan karya yang masih bersifat coba-coba itu. Jadilah pada 1969, jilid perdana Tujuh Pusaka Rimba Persilatan diterbitkan.”
Tak Asal-asalan
Setelah karya pertama, penerbit meminta Tjan meneruskan kelanjutannya hingga jilid 28 tamat. Tiap jilid Tjan dibayar Rp 1.750. Pada saat hampir bersamaan, bisnis rotan Tjan Han Siong gulung tikar dan terjerat utang. Dalam keterpurukan, keluarga itu menggantungkan diri pada honor Tjan. Didesak kebutuhan, dia kian giat bekerja. Bahkan suami Suryani Erawati (55) itu juga menyuplai terjemahan kepada para senior, seperti Gan Kok Liang (Gan KL) dan Sie Djiak Liong (SD Liong). Tjan rela, karya sadurannya diterbitkan atas nama mereka.
”Habis bagaimana lagi, saya butuh banyak uang. Selain makan dan biaya sekolah adik-adik, honor saya juga untuk membayar bunga bank. Karena bekerja tak kenal waktu, kuliah saya jadi berantakan.”
Meski mengejar setoran, bukan berarti Tjan bekerja asal-asalan. Karya ayah dari Elwin A Setiawan (34) dan Stevanus Kundarto (30) itu bahkan diminati banyak pembaca, utamanya dari kalangan muda. Konon, itu karena gaya bahasa Tjan yang berbeda dari penyadur cerita silat generasi sebelumnya. Jika penyadur dan penulis senior, seperti OKT, SD Liong, Gan KL, dan Gan KH cenderung memakai Bahasa Melayu Pasar, ia menggunakan Bahasa Indonesia baku.
Dari sekian banyak hasil saduran Tjan, beberapa meledak di pasaran, yakni Pendekar Patung Emas karya Qin Hong (1970), Rahasia Kunci Wasiat karya Wolong Shen (1971), serta Serial Bara Maharani (1975) dan Pendekar Riang (1979), keduanya karya Khu Lung.
Tahun 1980-an, Tjan menyisihkan penghasilannya untuk bisnis peternakan ayam. Di luar dugaan, ikhtiar coba-coba itu berkembang pesat. Tjan pun mulai meninggalkan aktivitas kepenulisannya. Namun hal itu tak berlangsung selamanya. Pada 2002, bisnis Tjan bangkrut. Dia pun kembali menggeluti aktivitas penerjemahan cerita silat dari Negeri China.
Namun zaman telah berubah. Penikmat cerita silat Tiongkok tak lagi sebanyak era 1970-1980-an. Patah arangkah Tjan? Tidak. Dia tetap berkarya dengan penuh semangat. Justru dari situlah kesadaran akan pentingnya sastra peranakan tumbuh. Cerita silat, kata Tjan, perlu dilestarikan. Sebab selain menghibur, kisah-kisah yang terkandung di dalamnya memuat banyak ajaran kebajikan, seperti kepahlawanan, patriotisme, penghormatan kepada orang tua, serta kesetiakawanan.
Inilah yang membuat Tjan merasa perlu menyiapkan generasi pengganti. Sejak tahun 2000-an, ia membina 12 anak muda yang berminat menjadi penyadur cerita silat. Mereka anggota Masyarakat Tjerita Silat (M Tjersil) yang selama ini berinteraksi melalui milis di internet.
”Ikhtiar ini tidak sia-sia. Kini, tiga dari mereka telah berhasil menerbitkan buku. Semoga yang lain segera menyusul,” katanya.
Dalang Wayang Potehi
Jika Tjan Ing Djioe sukses melakukan regenerasi, tidak demikian dengan Thio Tiong Gie. Puluhan tahun melestarikan wayang potehi, ia hanya memproduksi seorang penerus. Dia tak lain Oei Tjiang Hwat, asistennya sendiri. Padahal Tiong Gie tak kurang-kurang melakukan inovasi. Dia menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengganti bahasa aslinya: China. Dia juga tak menabukan masuknya anasir budaya lain. Lelaki 76 tahun yang mukim di Kampung Pesantren, Kelurahan Purwodinatan, Semarang itu kerap memunculkan tembang-tembang campursari dalam pementasan. Namun apa lacur, pertunjukan Tiong Gie tetap minim apresiasi. ”Mencari penonton saja susah, apalagi anak muda yang mau belajar ndalang,” keluh Thio Tiong Gie.
Beda dari dulu, pentas wayang potehi saat ini cenderung dilakukan untuk klangenan. Dari ruang-ruang semacam itulah Tiong Gie dapat bertahan. Lantaran dalang potehi semakin langka, dia tak punya banyak saingan. Tiong Gie pun tak sulit-sulit amat mendapat tanggapan. Selain Semarang, dia acap diundang ke luar kota, seperti Tegal, Solo, Purwokerto, Mojokerto, Surabaya, dan Jakarta.
Dirunut ke belakang, persuaan Tiong Gie dengan wayang potehi bukan ikhwal yang disengaja. Alkisah, saat berusia sembilan tahun, rumah orang tuanya di Demak dirampok. Jatuh miskin, dia sekeluarga hijrah ke Semarang. Suatu hari Tiong Gie yang telah putus sekolah tertarik buku cerita berbahasa Hokkian yang dia baca. Beberapa waktu kemudian, dia bertemu Oey Sing Tay, tukang cakap wayang potehi.
Oey Sing Tay menyarankan Tiong Gie menjadi dalang.
Pada usia 25 tahun, dia nekat manggung untuk kali pertama di Cianjur, Jawa Barat. Nekat, karena tak pernah latihan sebelumnya. Sukses manggung perdana, Tiong Gie melanjutkan ke pentas-pentas keliling di berbagai kota di Pulau Jawa.
Peristiwa 1965 membuat wayang potehi dan kesenian bernuansa Tionghoa lain tidak boleh dimainkan secara terbuka. Tiong Gie pun terpaksa menghentikan kegiatannya. Untuk hidup, suami mendiang Hoo Sian Nio itu membuka usaha bengkel las.
Perubahan politik pada 1998 membuka jalan kebebasan bagi Tiong Gie. Pada 1999, untuk kali pertama setelah tiga dasawarsa vakum, dia kembali mendalang di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Penghapusan Inpres No 14 Tahun 1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000, membuat Tiong Gie makin leluasa.
Namun, zaman telah berubah. Lepas dari belenggu rezim, wayang potehi tak berdaya menghadapi gempuran ragam kesenian modern. Menyerahkah Thio Tiong Gie? Tidak. ”Sampai mati saya akan terus mendalang,” tandasnya.(Rukardi-62)
Dari : suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar